SKENARIO HIDUP UNTUK MALAIKAT TANPA SAYAP

Hai, namaku Salsa Nabila, orang-orang sering memanggilku Caca. Aku seorang gadis remaja yang berusia 17 tahun. Aku berasal dari keluarga yang kurang mampu. Aku lahir dan tinggal di sebuah Desa yang kumuh tepatnya di Desa Sidoarjo, Jawa Timur. Walaupun tempat tinggalku dari kecil di Sebuah Desa kumuh namun tak menjadikan semangatku patah apalagi menyerah, justru malah membuat diriku semakin bersemangat menjalani hari-hari di Desa. Aku tinggal hanya bertiga bersama Ibu dan Adikku. Hidup kami serba kekurangan. Dimana pekerjaan Ibu sehari-hari adalah sebagai seorang pemulung, Setiap hari harus mencari sampah bekas baik kardus ataupun tutup botol plastik. Ketika Ibu sedang mulung aku dirumah yang menjaga Adikku. Saat ini Adikku berusia 15 tahun. Sejak umurku 3 tahun, Bapak telah dipanggil lebih dulu oleh Sang Pencipta dikarenakan mengidap penyakit Leukimia. Sekarang ibu yang menjadi tulang punggung kami. Setiap hari beliau bekerja hanya untuk memenuhi kebutuhan pokok sehari-hari. Tidak banyak yang didapat namun untuk bisa makan saja sudah Alhamdulillah. Tahun berganti tahun kami jalani dengan keadaan hidup yang serba kekurangan. Hidup di Desa tidak seperti di Kota jauh dari hiruk pikuk keramaian dan juga polusi. Ingin rasanya seperti anak-anak lain diluar sana yang tertawa lepas saat bermain di sekolah, betapa beruntungnya mereka bisa mengenyam pendidikan sampai sarjana.

            Malam hari tiba Akupun duduk berdua bersama Ibu dihalaman rumah yang beratapkan tepas itu. Seketika aku mengatakan pernyataan ke Ibu “Bu… Aku ingin sekolah seperti anak anak lain diluar sana, Aku ingin bermain bersama teman-teman disekolah”, dan Ibupun menjawab dengan nada lesuh.”Nak, jangankan untuk sekolah untuk makan sehari-hari saja kita masih kekurangan” jawab Ibu. Mendengar jawaban Ibu hatikupun terenyuh, benar apa yang dikatakan Ibu untuk makan saja kami masih kekurangan apalagi untuk bersekolah. Keesokan harinya, Ibupun pergi berangkat untuk bekerja mencari sampah bekas, pekerjaan yang tak sewajarnya dilakukan oleh seorang Wanita.  Tak lama kemudian Aku mendengar dari salah satu warga di Desaku,  ketika Ibu sedang mencari sampah bekas tiba-tiba Ibu terjatuh, kepalanya pusing, dan penglihatannya pun samar-samar. Kemudian Ibu dibawa kesalah satu rumah warga untuk beristirahat sejenak. Namun Ibu belum juga sadarkan diri. Sebut saja “Pak Risman” namanya, Beliau adalah salah satu warga di Desa kami yang kehidupannya cukup berada. Beliau lah yang membawa Ibu kerumah sakit untuk diperiksa jarak dari Desa kerumah sakit cukup jauh. Namun Ibu tetap harus dibawa kerumah sakit. Kami menunggu diluar cukup lama sembari dokter memeriksa Ibu. Beberapa jam kemudian Dokter pun keluar dan beliau memvonis bahwa selama ini Ibu telah mengidap penyakit Kelenjar Getah Bening yang mengharuskan Ibu untuk cuci darah. Singkat cerita, hanya berbekal uang dua ratus ribu rupiah Aku memberanikan diri untuk pergi merantau ke Ibu Kota demi untuk membantu biaya pengobatan Ibu, ku tinggalkan Ibu dan Adik di Desa, Ditengah perjalanan Sidoarjo-Jakarta hatiku pun semakin dilema, Apakah Aku kembali ke Desa saja atau meneruskan perjalanan ini demi membantu biaya pengobatan Ibu. Sejenak aku teringat yang pernah ibu katakan pada ku dahulu “Hidup adalah tentang perjuangan yang tak kenal batas, Bertahanlah, setiap usaha yang kita capai, kelak akan ada hikmah dan pembelajaran yang bisa di petik”. Sesampainya di Kota Metropolitan tersebut aku mulai mencari cara bagaimana agar Aku bisa mendapatkan pekerjan. Ku hampiri Bapak separuh baya itu. Lalu kutanyakan padanya dengan nada lirih. “Pak, apakah disini bisa menerima saya bekerja?.” tanpa basa-basi Bapak tersebut malah menyuruhku pergi. Hatiku pun rasanya bagai diiris pisau, namun Aku tak kenal lelah untuk terus berjuang agar Ibu bisa sembuh. Semangatku tak pudar, rasa lelahku takkan hilang begitu saja. Aku akan terus melanjutkan perjuangan ini demi mereka.

Beberapa Bulan kemudian, Aku pun mencoba mengamen untuk tetap bisa memenuhi kebutuhan hidup di Ibu Kota, usai lelah dan letih dari mengamen aku pun mengistirahatkan diri sejenak di pinggiran halte bis. Tiba-tiba ada seorang Laki-laki muda menghampiriku, Beliau bertubuh tinggi, berkulit putih dan memakai dasi hitam, Kemudian Beliau menyapaku. “Adikk… boleh saya tau nama kamu?” Tanya Lelaki muda itu, “Nama saya Caca, Pak” Jawabku, Aku bahkan tidak mengenal beliau sebelumnya, namun Aku mencoba untuk tetap berfikir positif saja. Setelah obrolan panjang kami, alih-alih Lelaki muda tersebut langsung menawarkan Aku untuk bekerja diperusahaanya. Mulutku ku pun tak bisa berkata-kata, dan mataku pun seolah berkaca-kaca mendengar ucapan Lelaki muda tersebut. Sebuah keajaiban yang Tuhan berikan padaku ketika Ibu sakit namun ada sesosok Lelaki muda yang memiliki hati yang sangat dermawan.

Setelah mendengar tawaran Lelaki muda tersebut, Keesokan harinya akupun mulai bekerja di salah satu Perusahaan yang cukup besar di Kota Jakarta. Bayangkan saja gadis Desa yang tak memiliki kelebihan dan kemampuan apapun di diri ini harus bekerja di Perusahaan tersebut. Rasa takut, cemas, khawatir, bahagia, sedih semua berkecamuk menjadi satu. Sudah 2 bulan aku bekerja, Rasa rindu ini sungguh tak bisa ditahan, aku pun mencoba memberanikan diri untuk kembali ke Desa. Di sepanjang perjalanan Jakarta-Sidoarjo, fikiran dan hati seolah beradu beribu pertanyaan menjelma, hati ku gelisah, tak terfikirkan bagaimana keadaan ibu setelah tiga bulan lamanya aku tinggalkan dan juga kabar adikku, apakah adikku baik-baik saja? Jam sudah menunjukkan pukul 17.00 WIB. aku sudah tiba di Desa, lalu dengan tergesa-gesa aku turun dari bis, tiba-tiba aku melihat bendera hijau sudah berdiri tegak di halaman rumah. Diriku tak bisa berucap apapun,  ku peluk tubuh ibu yang terbujur kaku tertutup kain putih di atas tempat tidur, “tidak mungkin!tidak mungkin, aku hanya mimpi! Ibu….. mengapa cepat sekali ibu meninggalkan kami?” tak kuasa aku menahan tangis, sungguh hatiku begitu hancur, ternyata perjuanganku pergi merantai ke ibu Kota untuk membantu biaya pengobatan ibu sia-sia,

Tepat satu tahun Ibu telah meninggalkan kami. Lama aku berusaha berdamai dengan perasaanku sendiri. Aku mencoba menjadi wanita tegar dan berusaha menerima kepergianmu. kini kami hanya tinggal berdua bersama adik bungsuku. Ada seorang laki-laki berkulit putih, wajahnya sangat berseri, beliau membawa kedua orang tuanya untuk datang melamar seorang Gadis Desa yang telah ditinggal Ibu dan Bapak. Hari pernikahan pun tiba, saat semua perempuan merasa bahwa hari Pernikahan adalah hari yang sangat bahagia dengan kebahagiaan sempurna, tetapi,  berbeda denganku. tak kulihat wajah tangis haru Ibu dan juga Bapak. Saat Ijab Qobul terucap disaat itu juga aku mengemban amanah baru yang Allah berikan. Dimana aku sudah memasuki fase baru dan juga peran baru dalam hidupku yakni sebagai seorang istri dan juga calon ibu untuk anak-anakku. Tahun berganti tahun aku jalani sebagai seorang istri dan Ibu. Kini tiba lah tanggal 22 Desember 2017. Aku bahagia menjadi seorang Ibu. Ketika semua anak merayakan dengan bahagia untuk Ibu tercintanya namun aku hanya bisa mendo’akan Ibuku bahwa bahagiaku sekarang juga bahagia nya Ibu ku di syurga FirdausNya,

Terkadang kita tak bisa mengira sudah sejauh mana perjuangan yang telah kita upayakan, karna bertahan dalam perjuangan tak selamanya menjadi tekanan justru makna waktu sedetik saja sangatlah berharga. Walau ternyata diakhir perjuangan takdirNya justru berbeda tetapi yakinlah semua rencana Tuhan adalah paling terbaik menurut versiNya.

Leave a comment